Aku mulai menulis jurnal pribadi bukan karena kalau-kalau ada hal besar yang perlu dicatat, melainkan karena aku butuh teman bicara yang bisa dipercaya kapan saja. Jurnal bukan dokumen resmi tentang hidup yang benar atau salah; dia seperti kaca yang menampilkan kilasan-kilasan emosi yang sering kita abaikan. Pada akhirnya, perawatan diri pun jadi soal memberi ruangan pada jiwa untuk bernapas. Setiap baris yang kutulis adalah bagaimana aku menguatkan diri sendiri, meskipun langkahnya kecil. Dan ternyata, menulis membuat aku lebih peka terhadap perubahan halus: nada suara saat aku membaca balik, berat ringkih di pundak saat aku menahan lesung air mata, atau senyum tipis ketika aku menyadari aku sudah bertahan hari ini. Aku ingin berbagi cerita tentang bagaimana jurnal pribadi bisa jadi alat kasih sayang untuk kesehatan jiwa.
Pelajaran dari Hal-hal Sepele yang Sering Terlupakan
Hal-hal kecil seringkali menumpuk jadi beban besar jika tidak kita ajak ngobrol pelan-pelan. Aku mulai dengan hal sederhana: menyalakan lampu temaram, meneguk teh hangat, menuliskan tiga hal yang membuatku bersyukur hari itu. Di halaman pertama jurnalku, aku menampar diri sendiri dengan kenyataan bahwa aku terlalu sering menggeber diri sepanjang pagi, lalu menuntut diri untuk tetap tenang di malam hari. Aku belajar menulis sambil sebenarnya mendengarkan detak jantungku sendiri, seolah-olah jantung itu punya pendapat tentang bagaimana aku menjalani hari. Kadang aku menuliskan saja satu kalimat pendek: “Aku lelah, tapi aku masih di sini.” Lalu aku biarkan diri meresapi kata-kata itu tanpa menghakimi. Ada juga detail kecil yang bikin aku merasa manusia: bau roti panggang di dapur, suara cicak di dinding, atau secarik kertas yang kuselipkan di buku catatan sebagai pengingat bahwa aku tidak sendirian menghadapi rasa tidak menentu.
Ritual-ritual kecil itu menjadi jembatan antara tubuh dan jiwa. Ketika aku menatap halaman yang penuh goresan tinta, aku seperti melihatiring anak tangga yang siap menuntunku naik perlahan. Aku tidak perlu menuliskan semua hal sulit secara rinci; cukup dengan meletakkan bagian-bagian itu di sana, agar tidak terus menggumpal di kepala. Dan kadang, aku menemukan bahwa jawaban datang lewat hal-hal sederhana: “Mengapa aku sedih?” bisa berubah menjadi “Aku butuh istirahat sebentar” setelah aku menuliskannya dan membiarkan jariku berhenti sejenak. Hal-hal sepele ini, jika konsisten kita rangkai, punya kekuatan untuk mengubah hubungan kita dengan diri sendiri.
Ritme Sehari-hari yang Menyenangkan, Bukan Menekan
Perawatan diri bukan kompetisi kecepatan. Aku belajar bahwa ritme adalah kunci. Aku tidak menuntut diri untuk menulis buku laporan tiap malam; cukup 5–10 menit untuk mengisi halaman dengan perasaan yang nyata. Pagi hari, aku mencoba “check-in” singkat: bagaimana pernapasan hari ini, bagian tubuh mana yang terasa tegang, apa satu hal yang ingin kusyukuri sebelum memulai aktivitas. Siang hari, aku sisipkan napas sejenak—tarik napas dalam selama empat hitungan, tahan dua, hembuskan perlahan selama empat. Itu terasa seperti menenangkan mesin batinku sendiri. Malamnya, aku menutup hari dengan sebuah kalimat: satu hal yang berjalan baik, satu hal yang ingin kupelajari esok hari. Tidak selalu sempurna; kadang yang kutulis hanya satu kata sederhana: “lega.” Yang penting, aku memberi diri izin untuk tidak sempurna dan tidak menekan diri supaya selalu merasa kuat.
Aku juga belajar bahwa panjang paragraf bukan tujuan utama. Kadang, kalimat pendek bisa menimbang beban jauh lebih efektif daripada kalimat panjang yang terlalu asin dengan rasa bersalah. Aku mulai menyenangi momen ketika aku menulis tanpa ragu: satu kata, satu tanda baca, lalu diam. Karena di situlah jiwa bisa bernapas—tanpa perlu dipaksakan untuk bergegas menuju resolusi. Jurnal jadi teman yang mengingatkan bahwa aku tidak perlu melakukan semua hal sekaligus; cukup melangkah pelan, sambil menaruh belas kasih pada diri sendiri.
Menemukan Suara Jiwa di Halaman-halaman
Aku ingin surat untuk diriku sendiri, bukan ceramah untuk dunia. Ketika aku menulis, aku mendengar suara jiwa yang biasanya tenggelam di keramaian keseharian. Aku mencoba berbicaras terbalik: aku menulis dengan aku, kepada aku, dan kadang-kadang untuk masa depan yang belum tentu ada. Aku menuliskan hal-hal kecil yang membuatku bangga, meski orang lain mungkin menganggapnya tidak berarti: bahwa aku berhasil menundukkan amarah yang sebelumnya meletup di pagi hari, bahwa aku memilih untuk menunda beberapa keputusan besar demi memberi diri waktu untuk melihat lebih jelas, atau bahwa aku menolak menilai diri terlalu keras karena sesudahnya terasa seperti menebak-nebak arah angin tanpa kompas. Di sela-sela itu, aku memasukkan pertanyaan yang menantang: “Kalau besok aku tidak bisa menyelesaikan semua rencana, bisakah aku tetap menjaga kedamaian batinku?” Jawabannya sering datang lewat ilustrasi kecil: asterisks di margin, stiker kecil, atau secarik kertas yang menuliskan: “Besok, mulailah dengan napas.”
Jurnal mengajariku bahasa yang lebih manusiawi untuk diri sendiri. Dalam proses itu, aku menemukan tiga kebiasaan yang sangat membantu: menuliskan tiga hal yang baik tentang diri sendiri, menuliskan kekhawatiran secara spesifik agar tidak menumpuk jadi monster, dan menuliskan satu hal yang akan aku lakukan untuk merawat diriku esok hari—meski itu sekadar minum air lebih banyak atau berjalan kaki sebentar di sore hari. Elasticitas bahasa yang kutemukan di halaman membuatku berhenti menilai diri sebagai “kurang.” Aku lebih sering berkata pada diriku sendiri, “Aku lagi belajar,” dan rasanya lebih manusiawi daripada menjunjung standar yang tidak realistis.
Berkolaborasi dengan Dunia Luar: Komunitas, Buku, dan Perspektif Baru
Jurnal pribadi tidak perlu berjalan sendirian. Kadang, kita perlu melihat bagaimana orang lain merawat dirinya, bagaimana mereka menhindari tekanan yang tidak sehat, dan bagaimana mereka menuliskan proses pemulihan dengan bahasa yang hangat. Aku suka membaca tulisan orang lain, termasuk blog pribadi yang menormalkan ketidaksempurnaan dan mengisahkan perjalanan kecil menuju kesehatan jiwa. Salah satu referensi yang sering kucek adalah michelleanneleah, bukan untuk meniru, melainkan untuk tersadar bahwa kita tidak sendirian dalam merayap melalui badai emosi. Mendengar pengalaman orang lain membuat aku lebih berani menulis hal-hal yang dulu kupikir terlalu personal untuk dibagikan. Aku belajar menyeimbangkan antara privat dan terhubung, antara kata-kata yang kudengar dari dalam diri dan kata-kata yang kudengar dari suara orang lain di sisi lain layar.
Selain itu, aku mulai memasukkan sedikit filsafat praktis: bahwa perawatan diri adalah aksi proaktif. Ini berarti kita merencanakan hal-hal yang membuat kita tenang, kita memberi jeda pada diri sendiri ketika jiwa terasa lelah, dan kita menuliskan hal-hal yang pantas kita syukuri setiap hari. Jurnalku tidak pernah menghakimi; ia hanya mengingatkan bahwa hidup ini dinamis, kadang tenang, kadang bergejolak, dan kita tetap bisa menjaga kesehatan jiwa dengan cara yang sangat manusiawi. Pada akhirnya, perawatan diri bukan hadiah untuk sesekali, melainkan hak setiap orang untuk memelihara dirinya dengan lembut, setiap hari, dengan cara yang tidak pernah menghakimi.
Kalau kamu tertarik mencoba, mulai saja dari hal-hal kecil yang kita sebutkan tadi. Bawa buku catatan kecil, biarkan tinta mengalir, dan biarkan dirimu berbicara tanpa harus menilai. Jurnal bisa jadi sahabat yang tidak menuntut, cukup hadir ketika kamu membutuhkannya. Dan jika kamu ingin menambah perspektif, jelajah cerita-cerita pribadi orang lain bisa sangat membantu. Siapa tahu, halaman-halaman kecilmu berikutnya akan membawa kamu ke kedamaian yang selama ini kamu cari. Aku sudah menanti bab berikutnya—dan aku berharap kamu juga melangkah perlahan, dengan penuh belas kasih pada diri sendiri.