Di tengah keheningan malam, ketika kota mulai meredup dan notifikasi di ponsel berkurang, gue biasanya buka jurnal. Bukan buat bikin resolusi bombastis atau daftar kerjaan besok pagi, melainkan untuk ngobrol jujur sama diri sendiri. Jurnal malam itu semacam ritual kecil yang ngebantu menenangkan jiwa setelah hari yang penuh tuntutan. Jujur aja: ada hari-hari ketika kepala gue berisik banget, dan menulis itu satu-satunya cara supaya suara-suara itu nggak ikut tidur di kasur bareng gue.
Kenapa Jurnal Malam Penting (ini bukan sekadar klise)
Menulis di malam hari punya efek unik. Di siang hari, otak kita main game multitasking: kerja, balas chat, mikir belanja, lihat timeline. Malam hari memberi ruang kosong—sejenis kanvas kosong yang tiba-tiba bisa diisi apa aja. Gue sempet mikir, kenapa emang harus malam? Karena malam itu waktu refleksi, ketika emosi yang tercecer sepanjang hari berkumpul lagi. Menuliskan perasaan, kejadian, atau ketakutan sering bikin semuanya terasa lebih ringan, kayak nge-zip file emosional yang tadinya tersebar di seluruh folder kepala.
Tidak harus puitis atau rapi. Kadang gue cuma nulis dua baris: “Hari ini lelah, tapi ada kopi yang enak.” Itu saja sudah bikin kepala adem. Kadang juga gue bikin daftar syukur singkat—tiga hal kecil yang mungkin diabaikan saat sibuk. Rasa syukur ini, walau sederhana, ngasih perspektif bahwa nggak semua hari buruk.
Ritual Malam ala Gue: Santai, Nggak Perlu Sempurna
Gue punya ritual sederhana: matiin lampu kamar kecuali lampu meja yang temaram, seduh teh hangat, duduk di pojokan tempat favorit. Paling penting: nggak bawa gadget kecuali buat musik lembut. Ada teknik yang sering gue pakai—brain dump. Curahkan semua yang mengganggu kepala tanpa aturan. Gak usah rapi, gak usah berpikir panjang. Tujuannya cuma menurunkan volume kebisingan internal.
Saat menulis, gue kadang juga membacakan tulisan itu pelan-pelan ke diri sendiri. Aneh sih, tapi itu semacam konfirmasi bahwa perasaan gue nyata dan bukan omongan kosong yang hilang begitu aja. Kalau lagi stuck, gue bikin prompt sederhana: “Apa yang paling gue takutkan hari ini?” atau “Apa yang bikin gue senyum hari ini?” Pertanyaan-pertanyaan kecil itu sering membuka pintu obrolan yang tadinya tertutup rapat.
Curhat Malam: Jurnal Itu Kayak Temen yang Nggak Ngomong Kritis (agak lucu, tapi bener)
Bayangin jurnal sebagai temen yang suka dengerin tanpa ngasih solusi sok. Dia nggak bakal bilang “kamu harus…” atau “coba lakukan…” kecuali kita minta. Suatu malam gue nulis tentang kegagalan wawancara kerja—panik, malu, campur aduk. Setelah nulis panjang, gue malah ketawa sendiri waktu baca ulang, karena beberapa ketakutan terasa konyol dari sudut pandang tulisan. Humor kecil itu sering jadi obat mujarab buat jiwa yang kelelahan.
Juga ada malam-malam penuh curhat random: rindu sama mantan, rencana pindah kota, atau sekadar daftar makanan yang pengen dimakan pas libur. Jurnal mengizinkan semua itu masuk tanpa dihakimi. Kalau lagi pengen, gue juga coret-coret halaman—nulis kata besar, gambar nebeng, atau tempel tiket bioskop. Semua itu jadi bukti visual bahwa self care itu nggak melulu meditasi serius; kadang cuma bikin halaman jurnal jadi rame dan lucu.
Akhirnya: Bikin Jurnal Jadi Perawatan Diri yang Berkelanjutan
Kalau lo tertarik mulai, jangan paksain pola orang lain. Beberapa orang butuh struktur—contohnya bullet journal dengan template harian—sementara beberapa lainnya cuma pengen coret bebas. Gue pernah nyari inspirasi dan nemu beberapa ide menarik di michelleanneleah, yang bantuin nyusun rutinitas journaling dengan gaya yang santai dan doable. Intinya, temukan format yang bisa lo jaga konsistensinya.
Jurnal malam bukan pengganti terapi, tapi dia teman setia di saat kepala butuh penumpukan. Dengan konsisten menulis, lo bisa lebih sadar atas pola emosi, kebiasaan yang merusak, dan juga hal-hal manis yang sering terlupakan. Jadi, sebelum tidur malam ini, coba luangkan 10 menit. Tulis apa yang ada, jangan terlalu mikir gimana hasilnya. Siapa tahu, halaman-halaman kecil itu jadi pemulih untuk jiwa yang lelah.