Awal yang sederhana
Pagi ini aku membuka jurnal di atas meja kecil yang penuh bekas cangkir kopi. Sinar matahari masuk dari celah tirai, menari-nari di halaman kosong. Ada perasaan aneh setiap kali aku menulis kata pertama: seperti membuka pintu kecil yang selama ini kusembunyikan dari diri sendiri. Kadang kata-kata datang deres, kadang cuma setitik — dan keduanya tak masalah. Menulis jurnal bagiku bukan sekadar merekam apa yang terjadi, tapi cara merawat jiwa yang kadang capek sebelum sempat bilang apa-apa.
Kenapa menulis jurnal terasa seperti merawat diri?
Menuliskan hal-hal yang berlalu, kegembiraan kecil, atau ketakutan yang tiba-tiba muncul memberi ruang untuk bernapas. Di saat lain aku hanya mencoret-coret kalimat seadanya—”Hari ini capek. Kopi kurang manis.”—tetap ada efeknya. Ada ritual di balik tinta dan kertas: duduk, tarik napas, letakkan pena, dan biarkan pikiran melunak. Ritual itu sederhana tapi membumi. Seperti mandi hangat setelah hujan, atau menyusun bantal sebelum tidur: tindakan kecil yang menenangkan sistem saraf.
Apa yang kutulis? Curhat, daftar, atau puisi ngawur?
Sebenarnya semua bisa. Kadang aku menulis curhatan panjang berliku tentang seseorang yang tak mengerti caraku mencintai. Kadang aku membuat daftar syukur singkat: “1) Tidur cukup. 2) Kucing tidak muntah di bantal. 3) Dapat pesan lucu dari teman.” (Itu menunjukan level syukur yang realistis, bukan spiritualitas tinggi.) Ada juga halaman-halaman yang kupenuhi puisi pendek, kalimat-kalimat absurd, bahkan doodle wajah-wajah lucu. Menulis jurnal membebaskan otak dari tuntutan “baik” atau “benar”. Ini ruang aman—kadang kotor, kadang rapi, tapi selalu milik sendiri.
Ritual kecil yang malah berdampak besar
Sejak beberapa bulan lalu aku menetapkan waktu menulis tiap malam sebelum tidur. Tidak lama, 10-15 menit saja—cukup untuk merangkum hari, mencatat hal yang membuatku lega, dan menuliskan satu niat kecil untuk esok. Efeknya sederhana tapi nyata. Tidur jadi lebih nyenyak karena otak sudah diberi tempat untuk “menaruh” kegelisahan. Kecemasan yang biasanya berputar di kepala jadi lebih tertata. Kadang aku baca lagi catatan lama dan tiba-tiba tertawa sendiri membaca drama kecil yang dulu terasa besar. Itu semacam obat tawa yang tak terduga.
Ada juga hari ketika menulis membuatku menangis. Dan itu juga sehat. Menangis di antara tinta adalah pengakuan: aku lelah, aku manusia, aku butuh istirahat. Jurnal tidak menghakimi. Ia menyimpan semua—abra kadabra emosi dan absurditas hidup—dengan penuh sabar.
Oh ya, aku pernah menemukan blog seseorang yang menginspirasi caraku menulis jurnal. Link-nya kepanjangan dan rasanya pas di hati: michelleanneleah. Dari situ aku belajar menaruh lebih banyak pertanyaan dalam tulisanku daripada jawaban mutlak.
Bagaimana memulai kalau kamu malu?
Kamu nggak perlu buku mahal atau gaya menulis yang puitis. Mulai dari halaman kosong dan tulis satu kalimat: “Aku sedang merasa…” atau “Hari ini ada yang lucu…” Biarkan saja. Kalau takut orang lain baca, simpan di tempat yang membuatmu tenang—lemari, kotak, atau password file digital. Kalau kamu lebih suka suara, rekam catatan suara selama lima menit. Yang penting adalah kontinuitas, bukan kuantitas. Satu kalimat sehari lebih kuat daripada janji muluk tanpa realisasi.
Menulis sebagai teman perjalanan
Kini jurnal menjadi semacam teman. Ia mendengarkan tanpa mengintervensi, mengecek tanpa menghakimi. Ada kalanya aku membuka kembali tulisan tiga tahun lalu dan terkejut melihat pola yang sama—pola yang dulu membuatku frustrasi kini terlihat lucu dan manusiawi. Itulah salah satu hadiah menulis: jarak waktu memberi perspektif. Kita jadi bisa melihat luka yang dulu rawan, sekarang mulai menyembuh.
Jadi, menulis jurnal itu bukan sekadar menumpuk catatan. Ia semacam perawatan harian—sebuah ritual kalau kamu mau—yang menolong kita merapikan benang-benang emosi, mengakui kebahagiaan kecil, dan memberi ruang bagi rasa untuk turun dari kepala ke kertas. Kalau kamu belum mencoba, ambil pena (atau buka aplikasi), dan buat satu kalimat. Tidak perlu sempurna. Cukup jujur. Selamat merawat jiwa, pelan-pelan saja.