Sesi Curhat Sendiri: Jurnal Perawatan Diri untuk Kesehatan Jiwa

Sesi Curhat Sendiri: Jurnal Perawatan Diri untuk Kesehatan Jiwa

Aku ingat pertama kali mulai menulis jurnal: sebatang pulpen biru, buku kecil berleher kaku, dan meja kecil di samping jendela yang selalu berembun saat hujan. Aku menulis karena tidak punya teman curhat yang bisa dimintai saran tengah malam. Jujur saja, tulisan itu kaku pada awalnya. Tapi lama-lama, halaman demi halaman berubah menjadi ruangan rahasia yang tenang—ruang di mana aku boleh marah, sedih, atau pura-pura kuat tanpa dihakimi.

Kenapa Jurnal? (Serius, tapi ringkas)

Menulis jurnal bukan cuma soal mencatat aktivitas harian. Ini soal memberi nama pada perasaan yang seringkali kabur. Ketika kita menuliskan kecemasan, takut, atau rasa bersalah, sesuatu di kepala menjadi lebih ringan. Ada penelitian yang bilang menulis ekspresif membantu regulasi emosi; aku sendiri merasakannya. Setelah menulis beberapa menit, kekusutan di kepala seringkali mengecil. Rasanya seperti mengeluarkan benang yang kusut perlahan-lahan.

Gaya Santai: Curhat Sendiri Kayak Ngobrol Sama Teman

Jurnal bisa ditulis sesederhana mencatat satu hal yang bikin hari ini enak—seperti aroma kopi yang pas atau pesan singkat dari teman lama. Kadang aku menulis seolah-olah ngobrol sama sahabat: “Hei, hari ini aku capek banget, tapi aku berhasil nyelesain tiga tugas, nggak buruk kan?” Kalimat pendek. Kalimat panjang. Campuran. Terkadang aku menyelipkan sketsa kecil, atau coretan musik yang mengingatkanku pada playlist sore itu. Hal-hal kecil ini membuat jurnal terasa nyata, bukan sekadar daftar keluhan.

Rutinitas kecil yang berpengaruh besar

Aku tidak perlu menulis tiap hari. Tapi ketika aku memberi waktu 10 menit setiap pagi atau malam, efeknya nyata. Mulai dengan tiga hal: satu yang membuatmu bersyukur, satu rasa yang sedang dominan, dan satu langkah kecil untuk besok. Itu saja. Kesederhanaan membantu, karena kalau terlalu ambisius, aku malah merasa gagal sebelum mulai. Satu kali aku mencoba meniru “template” penuh dari blog orang lain—keren sih, tapi melelahkan. Kebebasan menulis adalah kuncinya. Bicara soal referensi, aku pernah menemukan beberapa inspirasi di sebuah situs yang menyajikan tulisan perawatan diri hangat seperti secangkir teh manis; kalau penasaran, bisa intip ke michelleanneleah untuk beberapa ide.

Selain isi, medium juga penting. Ada yang suka mengetik di aplikasi, ada yang setia pada buku tulis. Aku lebih suka buku karena tulisanku terlihat jelek tapi penuh karakter—ada noda kopi kecil di pojok halaman dan beberapa coretan yang akhirnya jadi motif lucu. Itu membuat jurnal terasa lebih ‘milikku’.

Cara menghadapi hari-hari berat (dengan lembut)

Pada hari-hari ketika segala sesuatu terasa berat, aku menulis bukan untuk menyelesaikan masalah, tapi untuk hadir bersama rasa itu. Menulis: “Hari ini aku merasa hampa” seringkali membuka jalan ke pertanyaan lain: kenapa? apa yang membuatnya hampa? Kadang jawabannya sederhana, seperti kurang tidur. Kadang jawabannya dalam dan rumit—perlu waktu, mungkin bicara dengan terapis, atau sekadar menulis lagi besok. Jurnal tidak selalu menyembuhkan; tapi ia memberi ruang untuk memulai proses yang lebih besar.

Aku juga sering menuliskan afirmasi kecil—bukan yang puitis, hanya yang nyata. “Kamu sudah berusaha cukup hari ini.” “Nanti malam tidur lebih awal.” Kalimat-kalimat ini seperti pijatan kecil buat otak yang lelah.

Penutup: Jadikan Jurnal Teman Setiamu

Kalau kamu belum pernah mencoba, mulai saja. Tidak perlu alat mahal, cukup kertas dan pulpen, atau aplikasi sederhana di ponsel. Biarkan jurnal menjadi sesi curhat yang aman, tanpa judgement, dan selalu bisa dikunjungi kapan pun. Beberapa halaman akan kering dan bernoda, beberapa lagi akan penuh harapan. Semua itu normal. Yang penting, kamu memberi dirimu waktu dan perhatian—itu sudah merupakan bentuk perawatan diri yang nyata.

Leave a Reply